Halo, temen-temen! Sekarang saya mau melanjutkan lagi cerita tentang stereotip yang saya alami ketika tinggal di Jepang. Nah kenapa judulnya Part 2.1, akan saya ceritakan di akhir ya. Bagi yang belum membaca part 1-nya, bisa dibaca di sini ya. Kali ini juga masih sama dengan post sebelumnya, saya ingin bercerita tentang anggapan salah yang saya miliki terhadap bangsa atau ras tertentu.
Berkuliah di kampus yang cukup banyak menerima mahasiswa asing membuat saya dapat bertemu teman-teman dari berbagai belahan dunia. Lagi-lagi termakan oleh apa yang selama ini diberitakan media, saya memiliki anggapan tertentu terhadap beberapa etnis budaya. Sebagai contoh, mereka yang berasal India atau Singapura pasti cenderung lebih pandai dari yang lainnya, dan sebaliknya, mereka yang berasal dari negara-negara Afrika dan berkulit hitam pasti cenderung lebih terbelakang pendidikannya. Tak pernah terbayangkan oleh saya bahwa anggapan ini akan dipatahkan mentah-mentah oleh pengalaman yang akan saya ceritakan di post kali ini.
Sebut saja S. Dia adalah penerima beasiswa Monbusho G2G angkatan 2013, sama seperti saya dan teman saya J yang saya ceritakan di post sebelumnya. Dia juga seorang Muslim, berasal dari negara S di Afrika, dan berkulit hitam. S ini satu jurusan dengan saya di kampus, tapi berbeda lab.
Semua penerima beasiswa Monbusho G2G harus mengikuti kelas Bahasa Jepang selama 1 tahun sebelum memulai pendidikan S2. Ada sekitar 20-an penerima beasiswa Monbusho G2G di kampus saya pada tahun 2013 itu, dan kami dibagi jadi 2 kelas Bahasa Jepang. Satu kelas berisi 7 orang (termasuk saya) adalah kelas bagi kami yang sudah pernah mempelajari Bahasa Jepang sebelum datang ke Jepang. Kelas ini disebut kelas B. Dan satu kelas lagi adalah kelas bagi mereka yang belum pernah belajar Bahasa Jepang sama sekali. Kelas ini disebut kelas A, dan S ada di kelas tersebut. Oya FYI juga, semua teman saya yang berkulit hitam ada di kelas itu termasuk J dan S ini.
Di tahun pertama ini, kami juga akan mengikuti tes masuk ke jurusan masing-masing, sama seperti mahasiswa lulusan S1 Jepang pada tahun itu. Tes ini diadakan pada bulan Agustus, sementara tahun ajaran baru dimulai bulan April tahun depannya. Jadi jika kami lolos tes masuk ini, kami punya satu semester kosong sebelum memulai perkuliahan.
Mendekati ujian masuk, saya pun sibuk belajar mempersiapkannya dengan mengerjakan soal-soal yang pernah dikeluarkan tahun-tahun sebelumnya. Sama ya dengan calon mahasiswa di Indonesia 🙂 Jujur aja, soal tes masuk kampus saya ini susah banget. Hampir sama tingkat kesulitannya kayak lomba. Saya jadi harus baca-baca lagi teori dari buku pelajaran (atau dalam hal ini search di google sih sebenernya 😀 ).
Suatu hari saya sedang belajar di jam istirahat kelas Bahasa Jepang bareng temen sekelas yang juga satu jurusan dengan saya, sebut saja F, dan dia ini juga cowo (maklumlah kalau teman saya kebanyakan cowo, jurusan saya memang jurusan yang didominasi oleh para pria). Di salah satu soal, saya dan F mengalami kesulitan dan stuck. Kemudian salah satu teman kami dari kelas A main ke kelas kami dan melihat kami sedang stuck. Dia pun menyarankan, “Go ask S, he’s very genius!” Kami (saya dan F) yang tidak tahu menahu bahwa S adalah seorang jenius karena kami tidak sekelas bahasa dengannya sehingga jarang mengobrol dengan dia, mencoba menanyakan soal tsb ke S. Dan benar saja, he solved it in no time!
Sejak saat itu, kami selalu belajar bareng S. Usut punya usut, ternyata S ini memang benar-benar pinteeerrr banget dalam bidang keilmuan kami. Kayaknya isi buku kalkulus, matematika teknik, dan pemrograman udah ditelen mentah-mentah sama dia, karena dia ini nggak hanya pandai dalam hal yang bisa dinalar dengan logika, namun juga dia hapal semua teorema, prinsip, dan rumus dalam matematika. Kebayang kan pinternya kayak gimana?
Hingga akhirnya tibalah musim panas pertama saya di Jepang. Ternyata, rasanya berat sekali belajar untuk persiapan ujian masuk di musim panas ini, yang suhu dan kelembapan rata-rata per harinya lebih tinggi daripada di Indonesia. Selain karena udaranya yang panas dan pengap, hawanya memang sangat hawa liburan, karena anak-anak sekolah libur selama 3 bulan. Sedangkan mahasiswa, meskipun tidak ada kuliah selama 3 bulan, lab dan kampus tetap buka 24 jam seperti biasa.
Walaupun berat, saya sendiri memang tipenya tidak tenang kalau tidak belajar setiap hari untuk ujian yang penting seperti ini. Namun lama kelamaan semangat F agak menurun untuk belajar karena musim panas ini memang susah banget buat bikin otak konsentrasi. Bawaannya pengen tidur-tiduran di depan kipas angin terus sambil makan es loli. Alhasil tinggal saya dan S yang lebih sering belajar bareng, atau lebih tepatnya, saya yang meminta S menemani saya belajar hampir setiap hari.
Kenapa saya bilang “lebih tepatnya S yang menemani saya belajar”, karena sebenernya S ini sudah tidak perlu belajar lagi menurut saya. Semua soal tahun-tahun sebelumnya bisa dia kerjakan dalam waktu singkat. Kalau ada yang sedikit susah, dia akan bilang, “Let me finish it and then I’ll tell you how to solve it,” dan biasanya soal-soal kayak gini pun dia selesaikan dalam waktu paling lama 1 jam, lalu dia akan mengajari saya.
Buat temen-temen yang jurusan kuliahnya IPA pasti sering kan mengerjakan soal yang harus ditulis cara mendapatkan jawabannya. Nah S ini pun sangat rapi dan runut dalam menuliskan jawaban dari soal-soal ujian ini, sehingga membuat saya mudah dalam memahami cara mengerjakannya. Kalau melihat S ini kayaknya dia bener-bener cocok jadi penulis buku teorema matematika, karena nggak cuma pinter, dia juga bisa mengajarkan orang lain sampai orang tersebut paham.
Singkat cerita waktu ujian pun tiba. Alhamdulillah saya lumayan bisa mengerjakan soal yang diberikan karena memang mirip sekali polanya dengan soal tahun-tahun sebelumnya. Setelah ujian, maka kami tinggal menunggu tahun ajaran baru pada bulan April tahun berikutnya.
Wah saya tidak menyangka ternyata sudah sepanjang ini tulisannya, cerita tentang S belum selesai. Insya Allah saya lanjutkan lagi di Part 2.2 ya ^^
Untuk post ini segini dulu. Semoga ada yang bisa temen-temen ambil dari cerita kali ini 🙂 Sampai ketemu di post selanjutnya! Semoga belum bosan ya!
One thought on “Living in Japan: Dealing with Stereotype Part 2.1”