Living in Japan: Dealing with Stereotype Part 1

Stereotype, atau dalam bahasa Indonesia disebut stereotip, menurut KBBI daring memiliki makna:

n konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat

Kali ini saya ingin bercerita mengenai pengalaman berharga yang saya dapatkan berkaitan dengan stereotip ini. Pengalaman ini terjadi saat saya masih tinggal di Jepang, namun hikmahnya masih saya rasakan hingga sekarang.

Tulisan ini akan saya bagi menjadi 3 part, setiap partnya akan menceritakan seseorang yang saya kenal saat saya tinggal di Jepang, yang bantuannya tidak akan pernah saya lupakan.

Pertama kali saya tiba di Jepang untuk tinggal dalam waktu yang lama adalah pada tahun 2013. Bagi yang tidak mengikuti blog ini sejak dulu mungkin tidak tahu, jadi akan saya ceritakan sedikit penyebab saya tinggal di Jepang.

Alhamdulillah, saya merupakan salah satu penerima beasiswa MEXT/Monbukagakusho atau disingkat Monbusho untuk melanjutkan studi S2 di Jepang keberangkatan tahun 2013. Cerita lengkapnya sudah saya tuliskan di blog ini, silakan bagi yang ingin membaca bisa klik tab ‘monbusho’ di blog saya ini.

Saat tinggal di Jepang inilah pertama kalinya saya akan berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai belahan dunia, mengingat kampus saya merupakan kampus negeri yang banyak menjalin kerja sama dengan kampus-kampus di luar Jepang, sehingga menerima banyak sekali mahasiswa asing tiap tahunnya. Sebelum ini, saya hanyalah seorang pelajar biasa yang tumbuh di lingkungan yang bisa dibilang homogen. SD dan SMP saya di Balikpapan bersekolah di sekolah swasta yang siswa-siswanya berasal dari kalangan tertentu, saat SMA saya bersekolah asrama di madrasah aaliyah (otomatis teman-teman saya Muslim semua), dan saat S1 saya kuliah di kampus teknik (lagi-lagi bergaul dengan teman-teman yang memiliki keilmuan serupa). Sangat jarang saya bertemu dan berteman dengan orang yang memiliki latar belakang berbeda.

Mungkin nanti setelah teman-teman selesai membaca tulisan saya ini, teman-teman akan berpikir bahwa saya polos sekali, namun memang begitulah saya, terutama saat kedatangan saya pertama kalinya untuk tinggal di Jepang. Kalau sekarang, alhamdulillah saya sudah belajar lebih banyak 🙂

Besar di lingkungan yang homogen membuat saya memiliki stereotip terhadap orang yang saya anggap ‘berbeda’ dari saya. Stereotip ini terjadi sebagai akibat dari hal-hal yang saya lihat, yang menyebabkan saya memiliki anggapan khusus terhadap kalangan tertentu. Sebagai contoh: orang Jepang disiplin dan tepat waktu, orang Amerika pasti berkulit putih, orang yang berwajah India pasti berasal dari negara India, orang Afrika pasti berkulit hitam, dan yang terakhir, inilah yang akan menjadi inti dari tulisan ini, orang berkulit hitam memiliki sifat kasar. Beberapa stereotip ini ada yang benar, namun ada juga yang tidak.

Saya yang dari kecil memperoleh hiburan dari film-film barat, sering sekali melihat orang berkulit hitam yang menjadi penjahat, pengkhianat dari suatu badan, polisi yang semena-mena, pokoknya orang berkulit hitam selalu menjadi antagonis di film-film tersebut. Dari sini saya melihat bahwa tak dapat dipungkiri, media memegang peran penting akan terbentuknya stereotip ini. Ditambah dengan pertama kalinya saya tinggal di LUAR NEGERI sendirian yang mengakibatkan saya menjadi ekstra hati-hati dalam bertindak, saya menjadi agak takut untuk bergaul dengan mereka yang berkulit hitam saat pertama saya bertemu dengan mereka.

Setibanya di Jepang, saya harus belajar Bahasa Jepang selama satu tahun, selama 5 hari dalam seminggu, dari pukul 8 pagi hingga 4 sore, sebelum memulai pendidikan S2. Di kelas Bahasa Jepang, saya sekelas dengan teman-teman penerima beasiswa Monbusho dari negara lainnya. Mereka ada yang berasal dari Asia, Amerika latin, dan juga Afrika. Teman yang berasa dari Afrika ini ada lebih dari satu orang, dan mereka semua berkulit hitam.

Saat pertama kalinya saya bertemu dengan teman dari Afrika ini, saya sangat ingat saya berusaha untuk tidak berada di dekat mereka, karena saya sangat takut untuk bergaul dengan mereka. Hingga suatu ketika salah satu dari mereka menyapa saya terlebih dahulu. Oh ya, teman ini laki-laki, sebut saja J.

Dia menyapa dengan, “Salam ‘alaikum.” Saat itu saya terdiam sambil menoleh ke arahnya karena saya tidak menyangka akan disapa duluan. Lagipula saya juga bingung, mengapa dia menyapa saya dengan ucapan demikian, itu ‘kan hanya ucapan yang disampaikan kepada sesama Muslim. “Mengapa dia bisa tahu ucapan itu? Oh mungkin karena saya mengenakan hijab,” pikir saya waktu itu.

Karena terlalu kaget, I end up didn’t answer his greeting at all but only starred at him with blank face. Untungnya J ini tidak berubah menjadi menjauhi saya walaupun saya tidak menjawab salamnya. Dia malah bertanya, “Where are you from?” Saya jawab, “Indonesia.” Bahkan saya tidak menanyakan balik dia dari negara mana saking sebegitu jaga jaraknya saya 😦

And then he said, “You are Muslim, right? You wear hijab. I am Muslim, too.” Dan saya langsung shocked. Ternyata dia Muslim juga walaupun berkulit hitam. Saya saat itu benar-benar tidak menyangka ada orang berkulit hitam yang Muslim. Saya benar-benar tidak tahu bahwa sebagian besar negara di Afrika utara berpenduduk mayoritas Muslim 😦 Maklum, terakhir belajar Geografi saat SMP, dan seingat saya waktu SMA tidak ada pelajaran yang membahas negara-negara di seluruh dunia 😦

Maka sejak dia menyapa saya terlebih dahulu itu, saya mulai membuka hati terhadap teman-teman berkulit hitam di kelas Bahasa Jepang saya lainnya. And turned out they are just as normal as we all are. Tidak ada satu pun yang kasar seperti yang saya lihat di film-film. Mereka juga ramah, bisa bergurau, belajar bareng, juga jalan-jalan bareng.

Karena saya selalu bersama teman-teman ini sebagian besar dalam waktu hidup saya selama satu tahun awal di Jepang, kami jadi benar-benar dekat seperti saudara. Karena kami juga satu asrama (tentu saja laki-laki dan perempuan dipisah, namun bersebalahan gedungnya), kami sering melakukan aktivitas bersama di luar waktu belajar. Dan pertemanan saya dengan J pun semakin normal, semakin seperti saya berteman dengan teman-teman di Indonesia saja. Dia (juga teman laki-laki lainnya) sopan kok terhadap perempuan, jadi saya tidak merasa takut diajak pergaulan yang aneh-aneh seperti yang saya lihat di film (lagi-lagi menyalahkan film 😀 ).

Singkat cerita, tibalah bulan Ramadhan pertama saya di Jepang. Alhamdulillah, terdapat satu masjid yang terletak cukup dekat dengan asrama saya. Kalau naik sepeda memakan waktu sekitar 30 menit dengan kecepatan standar, NAMUN harus melewati jalan yang sangat sepi dan pinggirnya terdapat hutan, sawah, dan lahan kosong. Kalau malam, hanya satu dua mobil saja yang melintasi jalanannya.

Sebagai informasi, karena Ramadhan tahun itu bertepatan dengan musim panas (yang mana siang lebih panjang daripada malam), waktu maghrib jatuh pada sekitar pukul 7 malam, isya pukul setengah 9 malam, dan subuh pukul setengah 3 pagi. Tarawih di masjid ini dilaksanakan sebanyak 8 rakaat dengan menghabiskan bacaan 1 juz Al Qur’an setiap harinya. Oleh sebab itu, karena isya baru pukul setengah 9 malam, shalat tarawih selalu selesai pukul setengah 11, naik sepeda 30 menit, sampai rumah pukul 11 malam. Maka, saya selalu ke masjid beramai-ramai dengan teman Indonesia lainnya (mengingat jalanannya yang sepi seperti yang tadi sudah saya sebutkan dan waktu yang sangat larut). Dan kalau berencana sahur, maka harus bangun jam 2 pagi. Beginilah jadwal saya setiap harinya selama bulan Ramadhan.

Di masjid ini terdapat kebiasaan di bulan Ramadhan yang hingga kini saya rindukan (selain tentu saja agenda shalat tarawih), yaitu adanya jadwal buka puasa bersama pada hari-hari tertentu, dan yang menyiapkan bergantian setiap negara/komunitas. Misal hari ini komunitas Arab menyiapkan buka puasa, kemudian 3 hari lagi komunitas Pakistan, lalu 3 hari lagi komunitas Mesir, dan tentu saja ada komunitas Indonesia, dan masih banyak negara lainnya.

Suatu hari, saya sedang ‘berhalangan’ (biasalah wanita), padahal hari itu ada jadwal buka puasa dari komunitas negara lain. Biasanya saat ada jadwal buka puasa bersama ini, makanan di masjid selalu berlebih dan tidak habis sehingga sering dibawa pulang oleh peserta tarawih. Saya sih senang saja makanannya jadi bisa dimakan untuk sahur lagi. Bahkan saking banyaknya, kadang dimakan sahur pun masih tidak habis.

Awalnya saya mau tetap ke masjid bersama dengan teman Indonesia lainnya, tapi tiba-tiba saya galau karena merasa tidak enak mengambil makanan gratis padahal tidak berpuasa, jadi saya batalkan janji saya dengan teman Indonesia tersebut, sehingga teman tersebut berangkat ke masjid duluan naik sepeda. Setelah teman saya pergi, saya masih di luar asrama dengan sepeda, muncul-lah J ini dari asrama laki-laki, dan sepertinya dia mau berangkat ke masjid.

Seperti biasa dia menyapa duluan, “Salam’alaikum, Nadine, are you going to the masjid?” Duh saya bingung harus jawab apa, kalau tidak ke masjid, saya terpaksa harus bilang alasan saya, padahal malu banget bilang lagi ‘berhalangan’ ke temen cowok gitu. Kalau saya bilang mau ke masjid, pasti dia ngajak bareng naik sepeda. Akhirnya saya pun jujur saja, “No, I’m not going to the masjid today.” Terus dia nanya lagi, “Why? There’s ifthar schedule today. It’s such a waste if you didn’t come.”

Karena dia bertanya dan saya juga tidak punya alasan lain, akhirnya saya jujur saja ke dia, “Actually I’m not fasting today. You know..that woman thing..” Dan untungnya dia langsung paham. “Ah I see. But it’s okay if you just come to get the food. There are so many leftovers everyday,” said him. Yaa bener juga sih, daripada makanannya terbuang percuma, mendingan saya bantu menghabiskan. Tapi saya tetap bingung bagaimana pulangnya, karena saya takut naik sepeda malam-malam melewati jalanan sepi tersebut.

Saya pun bilang lagi, “But I’m not doing tarawih prayer. I can’t go home alone after dinner since it would be too late and the road is kinda creepy,” ‘Late’ di sini maksudnya ‘sudah larut malam’. Jadi saya bilang ke dia, bagaimana saya bisa pulang habis makan malam, kan sudah malem banget padahal harus melewati jalanan sepi, gitu..

Lalu dia bilang lagi, “It’s ok. Just message me when you want to go home, I’ll go with you,” What??? Jadi dia menawarkan untuk mengantar saya pulang 😥

Ya sudahlah since he insisted (dan karena saya juga lapar 😀 ) saya terima saja ajakan dia ke masjid. Sepanjang perjalanan ke masjid seingat saya kami tidak mengobrol terlalu banyak. Sesampainya di masjid, dia masuk ke ruangan untuk laki-laki, dan saya masuk ke ruangan untuk perempuan.

Oh ya, jangan bayangkan masjid ini berbentuk masjid seperti di Indonesia yang berbentuk lantai luas dengan barisan laki-laki di depan barisan perempuan serta langit-langitnya tinggi ada kubahnya. Masjid kami tidak seperti Masjid Camii di Tokyo, atau Masjid Kobe yang berbentuk layaknya masjid di Indonesia. Masjid kami ini hanyalah sebuah rumah yang terdiri dari beberapa ruangan. Jadi ada ruangan yang dipakai oleh jamaah laki-laki dan ada yang untuk jamaah perempuan.

Singkat cerita, tibalah waktu ifthar, lalu shalat maghrib (saya melipir di pojokan karena tidak shalat), lalu makan malam. Setelah makan malam saya pun mengirim pesan melalui Line ke J, “J, I’m finished. I think I want to go home now.” Tadinya saya tidak berekspektasi di akan membalas. Mungkin dia sudah sibuk ngobrol dengan jamaah laki-laki lainnya jadi tidak akan sering-sering mengecek hpnya. Eh, tidak disangka dia langsung membalas, “Okay, let’s meet outside.”

Kami pun bertemu di luar masjid lalu naik sepeda menuju asrama. Sepanjang perjalanan pulang dia bersepeda dengan jarak sekitar 2 meter di belakang saya dan tidak mengajak ngobrol sama sekali, which I really appreciate. Biar bagaimana pun juga dia bukan muhrim, tapi saya takut juga kalau pulang sendirian, dan sepertinya dia juga paham hal ini :’)

Begitu kami sudah sampai di jalanan yang agak ramai, saya bilang ke dia,”I think you can leave me here,” soalnya saya nggak enak juga sama dia yang masih harus balik ke masjid untuk shalat tarawih. Dia bertanya, “is it really okay?” “Yeah, it’s okay. And thank you so much,” jawab saya. Kami pun berpamitan dan dia bersepeda balik ke arah masjid.

Hingga saat ini this one particular episode masih sangat teringat jelas di ingatan saya, karena saya merasa mendapat bantuan yang tidak disangka-sangka and even from the least likely person, ditambah bahkan saya pernah su’udzon duluan ke dia 😥 Kalau dipikir-pikir, sampai saya meninggalkan Jepang, saya belum pernah benar-benar membalas perbuatan baiknya. Hhh.. I should’ve treated him better.. Well, I just pray that Allah will repay his good deeds.. Aamiin..

Terima kasih yang sudah membaca tulisan ini hingga selesai 🙂 Sampai jupa di part 2 yang insya Allah nggak kalah seru ceritanya. Di part 2 teman-teman akan tahu the real struggle of studying in Japan. Kehidupan di Jepang itu tidak melulu seindah pepohonan yang menguning di kala musim gugur, seputih salju di musim dingin, apalagi secerah matahari yang jatuh di antara ranting bunga sakura di musim semi.

Eeaa..

PS: Sekadar informasi, tahun 2015, J sudah menikah dan saat ini telah memiliki seorang anak.

Advertisement

4 thoughts on “Living in Japan: Dealing with Stereotype Part 1

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: