Karena Bahasa Adalah Tentang Menyampaikan Rasa

Postingan pertama di tahun 2015. Dan bukannya seperti orang lain yang isinya tentang refleksi setahun kemarin atau resolusi di tahun ini, melainkan sebuah tulisan yang sejatinya merupakan pelarian karena lagi capek ngerjain tesis (siap suruh jadi anak master? 😛 ) Hmm, ah tapi  tidak bisa dibilang tulisan ini bukan tentang refleksi juga sih. Karena nyatanya, cerita yang pengen saya tulis ini terbentuk karena kejadian-kejadian yang saya alami tahun kemarin. Tahun di mana perjuangan ini dimulai.

Postingan ini akan saya bagi menjadi 3 chapter, yang merupakan potongan-potongan chapter kehidupan saya setahun belakangan.

Chapter 1

Mulai April 2014 kemarin, saya resmi menjadi mahasiswa master, yang artinya dimulailah kembali aktivitas-aktivitas seperti waktu S1 dulu: kuliah, ngerjain PR, ujian, dan menantikan hasil ujian. Dan yang lebih menantang lagi, dimulailah juga paksaan saya harus berdiskusi dengan teman-teman lab yang semuanya (ya, harap dicatat SEMUANYA) berbahasa utama bahasa Jepang, ga peduli si temen ini orang Jepang ataupun mahasiswa asing.

Alhasil, dalam satu hari, jika saya tidak bertemu orang Indonesia satu pun di kampus, fix saya hanya akan berbahasa Indonesia dalam hati, yaitu saat whatsapan sama suami atau di grup-grup yg isinya temen-temen Indonesia.

Demi mengurangi kelelahan berbahasa asing yang sebetulnya saya juga tidak terlalu lancar ini, saya usahakan mengambil beberapa kuliah yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris, dengan asumsi pasti kelas-kelas seperti ini didominasi mahasiswa asing. Dan ya, benar saja, saya ketemu seorang temen cewek dari negeri tirai bambu (sebut saja Sancai) yang lancar berbahasa Inggris dan Alhamdulillah nyambung banget ngobrolnya. Jadilah kita mengambil semua mata kuliah barengan 😀 Dan tak hanya kuliah, kami kerap makan siang bareng, nonton ke bioskop bareng, bahkan sekedar curhat sambil minum kopi bareng.

Selain kuliah jurusan, saya juga masih mengambil kelas bahasa Jepang,dan beberapa kali mencoba aktif di kegiatan yang diperuntukkan bagi mahasiswa asing, maupun pertukaran budaya antara mahasiswa asing dan mahasiswa Jepang. Dari sini, saya kenal beberapa temen Jepang yang memiliki ketertarikan terhadap budaya asing. Di antara temen Jepang ini, salah satunya sebut saja Oshin, sebetulnya tidak terlalu lancar berbahasa Inggris. Namun keramahannya dan keterbukaannya terhadap mahasiswa asing, membuat kami nyambung-nyambung aja kalau ngobrol, meskipun obrolan kami harus campur-campur antara bahasa Jepang dan Inggris.

Di kesempatan kuliah lainnya, yang bahasa pengantarnya bahasa Jepang, saya kenal seorang teman lagi dari negeri ginseng, sebut saja Ji Eun. Ji Eun ini tidak bisa bahasa Jepang sama sekali, namun bahasa Inggrisnya cukup lancar. Dari beberapa kali obrolan, ketauanlah si Ji Eun ini memang sudah sering jalan-jalan ke luar negeri. Pantas saja bahasa Inggrisnya jago. Namun anehnya, setelah beberapa kali bertemu di kelas dan ngobrol sama dia, saya tidak menemukan kecocokan dalam pertemanan kita. Padahal saya mengerti apa yang dia sampaikan (secara pake bahasa Inggris), tapi ya entah kenapa kalau ngobrol tidak berlanjut, tidak muncul topik baru yang menarik untuk jadi obrolan berikutnya.

Chapter 2

Selain dengan teman lab yang saya terpaksa harus pakai bahasa Jepang, ternyata dosen pembimbing saya juga tidak terlalu lancar berbahasa Inggris >_< Karena itu terkadang saat diskusi di kantornya, kalau ada kalimat yang beliau mau ngomong dengan cepat, beliau langsung aja nyerocos pake bahasa Jepang. Memang sih saya ngerti artinya, tapi saya tidak memperoleh emosi yang ingin beliau sampaikan dari kalimat tersebut. Apakah beliau lagi biasa aja, atau menegaskan sesuatu, atau malah marah? Saya nggak ngeh gitu, lho!

Lain lagi masalahnya jika diskusi melalui email. Terkadang beberapa kalimat beliau terasa agak menusuk hati. Jawabannya singkat, tanpa basa-basi atau prolog sebelum masuk ke bahasan utama. Berbeda sekali rasanya saat email-email-an sama dosen matkul yang berbahasa Inggris. Lebih terasa adanya komunikasi emosi di antara kami (halah). Misalnya baru-baru ini saya mengemail dua orang dosen asing menanyakan peluang jadi asisten. Yang satu menjawab dengan tambahan “thank you for your offer”, yang satu lagi bahkan mengucapkan selamat tahun baru di awal email. Dari sini benar-benar terasa bahwa saya berkomunikasi dengan manusia, bukan dengan mesin penjawab email >_<

Chapter 3

Kejadian ini baruuuu aja terjadi beberapa waktu lalu saat saya sedang berbelanja di toko yang menjual baju. Sebenernya kejadian ini agak lucu (setidaknya bagi saya). Saat itu saya tertarik dengan scarf yang dipakai sama manequinnya. Saya sudah cari-cari di section yang memajang scarf-scarf, tapi tidak menemukan jenis yang sama. Akhirnya saya minta tolong sama mbak penjaga tokonya untuk mengambilkan scarf seperti yang ada di manequin itu. Pertama-tama mbaknya berusaha mencari di section scarf yang sebetulnya udah saya cari juga. Ternyata bener, mbaknya ga nemuin jenis yang sama.

Akhirnya si mbak ngambilin scarf yang dipake si manequin. Kemudian saat itu saya bertanya ke si mbak pakai bahasa Jepang yang kalimatnya seperti ini “kore shika nai desu ka”, yang maksud saya saat itu adalah bertanya, “apakah jenis ini tinggal satu ini aja?” Eh anehnya si mbaknya menjawab gini, “daijyoubu desu yo” yang artinya kira-kira “nggak apa-apa kok (boleh dibeli-red).” Saat mendengar jawaban mbaknya, saya terdiam sepersekian detik karena mendapat jawaban tidak sesuai yang saya harapkan. Di bayangan saya, mbaknya mungkin bakal jawab, “iya nih tinggal satu. maaf ya. masih mau beli nggak?” misalnya, atau “mungkin masih ada di gudang, coba saya cariin dulu ya”. Eh malah dijawab, “nggak apa-apa kok, beli aja.” Bingung kan?

Setelah pemrosesan di otak saya selesai, saya baru nyadar kenapa mbaknya malah bilang “nggak apa-apa”. Kalimat yang saya ucapkan tadi memang bisa juga diartikan, “karena tinggal satu, nggak apa-apa nih saya beli? ntar manequinnya ga punya scarf lagi loh” 😛 Begitulah kira-kira. No wonder si mbak malah jawab, “iya nggak apa-apa, beli aja” 😀

*****
Kembali ke chapter 1 tadi, ada tiga orang tokoh di sini: Sancai dari negara C, Oshin dari negara J, dan Ji Eun dari negara K. Dengan Sancai yang lancar berbahasa Inggris, dan Oshin yang tidak terlalu lancar berbahasa Inggris, saya merasakan kecocokan dalam berteman. Lain halnya dengan Ji Eun. Meskipun saya memahami apa yang dia ucapkan, pertemanan kami hanya sekedarnya saja.

Dari sini saya bisa mengambil kesimpulan, nggak peduli dari mana asal kita, gimana latar belakang kita, atau bahasa apa yang kita gunakan, selama dalam komunikasi satu sama lain kita dapat menyampaikan dan menerima rasa yang dimaksud pembicara (bukan hanya memahami arti ucapannya dalam bahasa ibu kita), obrolan dapat mengalir dengan lancar, persahabatan dapat terjalin, dan keterpahaman satu sama lain pun dapat tumbuh.

Mengenai chapter 2, sebenarnya saya maklum jika dosen pembimbing saya tidak dapat berbasa-basi dalam bahasa Inggris, karena saya pun demikian, tidak dapat berbasa-basi dalam bahasa Jepang. Apa sih yang sebaiknya saya ucapkan demi menghargai ucapan pembicara sebelumnya? Saya nggak tahu karena feel-nya nggak dapet, kalo bahasa jaman sekarang mah. Makin ke sini, saya makin lempeng aja, ga dimasukin ke hati kalau jawaban dosen pembimbing saya agak nusuk atau terasa tanpa tedeng aling-aling. Saya postive thinking sebenernya beliau tidak bermaksud demikian, hanya saja beliau tidak tahu bagaimana menyampaikan dengan lebih halus.

Lain lagi di chapter 3. Saya dan mbak penjual toko sama-sama ngerti apa yang kami ucapkan, hanya saja pemahamannya berlainan. Arti kalimatnya sama, tapi maknanya beda 😀 Untungnya ini hanya masalah sepele. Bagaimana jika hal ini terjadi waktu membicarakan hal yang lebih serius, instruksi dalam pekerjaan misalnya >_<

Terbukti, penguasaan bahasa tak hanya masalah memahami grammar atau menghapalkan kosa kata. Ada emotion, sense, dan feel yang juga mesti tersampaikan (ketiga kata benda ini saya sebutkan dalam bahasa Inggris, soalnya bahasa Indonesianya semuanya artinya sama yaitu “rasa”-red).

Ah, indahnya perbedaan. Jika ada satu hal yang paling saya syukuri dari takdir saya berada di sini, mungkin adalah kesempatan merasakan bertemu berbagai jenis manusiadan mengalami pengalaman-pengalaman seru nan lucu yang mungkin tidak akan saya dapat jika saya tidak ke mana-mana.

blog

Advertisement

4 thoughts on “Karena Bahasa Adalah Tentang Menyampaikan Rasa

  1. Wah.. tulisannya bagus!

    Bahasa dan komunikasi memang penting, tapi akan lebih mantab lagi ketika ada saling pengertian dari hati ke hati…

    keep posting! 🙂

Leave a Reply to Dwi Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: