Ini sebenarnya pemikiran yang sangat ga penting. Tapi yang namanya pemikiran, sayang jika tidak dituliskan. Minimal untuk dibaca ulang oleh diri sendiri suatu hari nanti, sebagai bahan pelajaran, sejauh apa diri ini telah menjadi lebih baik.
Yang diceritakan dalam postingan ini pun bukan merujuk ke satu orang tertentu, tapi beberapa orang yang memiliki karakteristik serupa. Jadi, tidak usah menebak-nebak apalagi sebut merek ya. Hehe 😀
Oke, jadi intinya mau ngomongin apa sih saya ini?
Pernah dengar ungkapan [Bukan “apa filmnya”, tapi “sama siapa nontonnya”]? Hmm, ini gombalan yang rada jadul sih sebenernya. Intinya maknanya adalah “yang membuat menyenangkan adalah teman nontonnya, bukan filmnya”. Jadi mau filmnya jelek kek, kalo nontonnya sama orang yang kita senengin, pasti jadi menyenangkan juga acara nonton tersebut. Yah begitulah kira-kira.
Dengan fenomena jejaring sosial yang makin marak akhir-akhir ini, saya menemukan ungkapan baru yang saya lihat sering terjadi, terutama di status-status facebook (atau twitter dan kawan-kawannya). Ungkapan itu adalah [Bukan “isi statusnya”, tapi “siapa yang menulisnya”].
Terkadang kita lihat seseorang yang memang punya kedudukan di suatu lembaga (sebut saja kampus :P), sering menuliskan status yang isinya buah pemikiran dia yang memang berbobot, kritis, dan komprehensif. Alhasil banyak yang nge-like (minimal 30 lah, bahkan kadang-kadang mencapai 100) dan ngomentarin. Terjadilah diskusi yang seru di komen statusnya itu. Terkadang dia menuliskan ulang pemikiran atau quote dari orang terkenal lain, seperti Ustadz Felix Siauw, Salim A Fillah, Mario Teguh, dan lain-lain. Atau terkadang juga ia menuliskan hadits-hadits. Yang nge-like juga banyak.
Ironisnya, saya pernah melihat status serupa yang dituliskan oleh orang lain (yang notabenenya kalah populer dibanding orang itu), ternyata yang nge-like dikit. Waduh, kenapa ya?
Dan lebih ironisnya lagi, pernah juga orang tersebut menuliskan status sangaaatt sederhana. Sebagai contoh “Selamat Idul Fitri 1433 H. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga dapat menjadi pribadi yang lebih baik” <– ini cuma contoh rekaan saya aja sih.
Ehh, yang nge-like juga tetep banyak, dong! Padahal yang nulis status serupa kan banyak, tapi kenapa yang di-like banyak orang cuma status orang itu?
Kemudian ketika saya membaca Al Qur’an surah Al Muzammil ayat 1-6. Yang artinya sebagai berikut:
1. Hai orang yang berselimut (Muhammad),
2. Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari[1525], kecuali sedikit (daripadanya),
3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.
4. Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.
5. Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.
6. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Saya menjadi tersadar.
Terjemahan surah di atas jika saya rangkum, adalah sebuah seruan untuk mendirikan solat di malam hari, yang jika kita rutin melaksanakannya, maka hikmahnya akan dapat kita rasakan, yaitu pada ayat ke 5 dan 6:
5. Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.
6. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Ya, Allah akan “menurunkan perkataan yang berat kepadamu”. Yang artinya, Allah akan membuat lisan kita mudah dalam mengeluarkan perkataan yang baik, bijaksana, berbobot, nancep, dalem, dll. Alhasil perkataan kita mudah didengar, disukai, dan disetujui oleh orang lain. Bahkan perkataan yang sederhana sekali pun.
Akhirnya saya menemukan jawabannya. Mungkin memang orang-orang tersebut tidak pernah lalai dalam solat malamnya. Akibatnya, Allah menganugerahkan mereka lisan yang mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmah. Dan karena itulah perkataannya mudah didengar oleh orang lain.
*****
Sungguh, saya masih sangat jauh dari orang-orang tersebut.